Thursday, September 29, 2011

BANK DAN PERANANNYA DALAM STABILITAS KEUANGAN


Latar Belakang
              Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.[1]
              Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
              Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
              Lahirnya bank-bank syariah di Indonesia tetap berpegang pada keputusan yang dibuat oleh bank sentral BI, karena Bank Indonesia adalah bank sentral yang menjaga kestabilan keuangan perbankan. Berbagai peran Bank Indonesia dalam stabilitas keuangan diantaranya yaitu Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka, menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan, dan Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan.

A.      Pengertian dan Sejarah Ringkas Bank
              Bank adalah suatu lembaga keuangan yang mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebagai tempat penyimpanan uang (menghimpun dana dari masyarakat) dan menyalurkan dana kepada masyarakat atau pengusaha yang membutuhkan serta memberikan pelayanan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[1]
              Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.[2]
              Kegiatan dan sejarah perbankan mulai di kenal sejak zaman Babylonia, kemudian terus berkembang hingga zaman Yunani Kuno dan Romawi. Kemudian kegiatan perbankan terus berkembang hingga ke daratan Eropa, hingga akhirnya berkembang sampai ke Asia Barat yang dibawa oleh para pedagang Eropa, dan terus berkembang hingga kegiatan perbankan ini menyebar ke seluruh dunia, terutama daerah jajahan Eropa.[3]
              Pada mulanya kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, sehingga dalam sejarah perbankan arti bank di kenal sebagai meja tempat menukarkan uang, dimana kegiatan penukaran uang tersebut sekarang dikenal dengan pedangang valuta asing (money changer).
              Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang, yang kini di kenal dengan kegiatan simpanan (tabungan). Kegiatan perbankan bertambah lagi sebagai tempat peminjaman uang.[4]
              Kegiatan perbankan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, dimana bank tidak lagi sekedar sebagai tempat menukar uang atau tempat menyimpan dan meminjam uang. Hingga akhirnya keberadaan bank sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat, hingga tingkat negara, dan bahkan sampai tingkat internasional.
              Di Indonesia sendiri, sejarah perbankan dimulai dengan masuknya penjajah belanda melalui VOC. Bank-bank yang pernah ada pada waktu ini antara lain:[5]
  1. De Javasche NV
  2. De Post Paar Bank
  3. De Algemevolks Crediet Bank
  4. NederlandHandles Maatscappij (NHM)
  5. Nationale Handle Bank
  6. De Escompto Bank NV
              Sedangkan bank-bank yang didirikan dan dimiliki warga pribumi. Cina, Jepang, dan Eropa lainnya diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Bank Nasional Indonesia
  2. bank Abuan Saudagar
  3. NV Bank Boemi
  4. The Charteredbank of India
  5. The Yokohama Species Bank
  6. The Matsui Bank
  7. The Bank of China
  8. Batavia Bank.
              Sejarah perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia diawali dari aspirasi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan yang Islami. Selain itu, masyarakat meyakini bahwa sistem perbankan syariah yang menerapkan bagi hasil sangat menguntungkan, baik untuk nasabah dan bank.
              Pada awal tahun 1980-an, rintisan pendirian perbankan syariah mulai dilakukan. Maraknya seminar dan diskusi tentang urgensi bank syariah yang dilakukan masyarakat dan akademisi kian memantapkan langkah itu. Sebagai sebuah uji coba, mereka kemudian mempraktekkan gagasan tentang bank syariah dalam skala kecil. Sejak itu, berdirilah Bait Al-Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.[6]
              Keberadaan badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan lembaga keuangan konvensional yang sudah ada.[7]
              Mencermati aspirasi masyarakat untuk memiliki lembaga keuangan syariah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan melakukan pendalaman konsep-konsep keuangan syariah, termasuk sistem perbankan syariah.
              Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990.[8]
              Hasilnya, lahirnya amanat untuk pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam pertama di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk menindaklanjuti aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan berbagai persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
              Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Selain BMI, pionir perbankan syariah yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for Sharia Economic Development (ISED).[9]
              Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan sistem perbankan syariah ini selanjutnya terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem operasional bank syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992.[10]
              Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.[11]
              Pada tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indoneisa.[12]
              Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertamakalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.[13]
              Dalam perjalanan waktu, pengalaman membuktikan bahwa sistem perbankan syariah telah menjadi salah satu solusi untuk membantu perekonomian nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem perbankan syariah terbukti mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati guncangan.
              Kemampuan itu semakin mempertegas posisi sistem perbankan syariah sebagai salah satu potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan. Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
              Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai “lebih dari sekedar bank” (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, diyakini bahwa di masa mendatang minat masyarakat Indonesia akan semakin tinggi untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya, hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API).[14]

B.       Peran Bank Dalam Stabilitas Keuangan
              Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.[15]
              Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.[16]
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:[17]
1.    Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting
2.    Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui  mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat
kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan rencana implementasi Basel II.
3.    Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik.
              Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran.
Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
4.    Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
5.    Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut

C.      Bank Syariah, Peran dan Prospeknya
              Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tahun 2008, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth (pertumbuhan tinggi), yakni di kisaran 38 %, dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional.[18]
              Industri perbankan syariah Indonesia sebagai bagian dari sistim perbankan nasional, diharapkan terus tumbuh untuk mendorong aktifitas perekonomian produktif masyarakat. Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga),  jumlah pembiayaan, pertambahan jumlah rekening nasabah,  serta jumlah sector perekonomian yang dibiayai.
              Selain dukungan kondisif makro ekonomi yang masih kondusif, faktor mikro dalam industri perbankan dan keuangan syariah juga akan mempengaruhi percepatan perkembangan industri perbankan syariah meliputi ; pertama, rencana pembukaan bank-bank syariah baru, kedua, optimalisasi kapasitas usaha dari bank syariah; dan ketiga, dukungan lingkungan keuangan syariah nasional.
              Pada tahun 2008 nanti beberapa rencana pembukaan bank syariah baru berupa BUS (Bank Umum Syariah)  atau UUS (Unit Usaha Syariah) akan segera terealisasi, baik melalui proses spin-off maupun proses akuisisi. Selain itu, diharapkan UUS yang ada mampu memaksimalkan ekspansi/peningkatan kapasitas funding (pendanaan) dan financing (pembiayaan) mereka. Banyak UUS yang memasang target pembiyaan sampai 100 %, misalnya Bank BNI Syariah, demikian pula Bank Umum Syariah Bank Muamalat Indonesia, juga memasang target yang sama.[19]
              Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003.[20]
              Dengan semakin banyaknya jumlah bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli menjadi oligopoly, yang menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan diantara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank konvensional, bank ini pun merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003, pemain dalam industri perbankan syariah terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8 unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki jaringan kantor berjumlah 119 KCS (Kantor Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Peningkatan jumlah pemain dalam industri perbankan syariah terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan akhir tahun 1998 yang hanya berjumlah 1 BUS dengan 8 KCS dan 78 BPRS.[21]

Kesimpulan
              Kegiatan dan sejarah perbankan mulai di kenal sejak zaman Babylonia, kemudian terus berkembang hingga zaman Yunani Kuno dan Romawi. Kemudian kegiatan perbankan terus berkembang hingga ke daratan Eropa, hingga akhirnya berkembang sampai ke Asia Barat yang dibawa oleh para pedagang Eropa, dan terus berkembang hingga kegiatan perbankan ini menyebar ke seluruh dunia, terutama daerah jajahan Eropa.
              Pada mulanya kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, sehingga dalam sejarah perbankan arti bank di kenal sebagai meja tempat menukarkan uang, dimana kegiatan penukaran uang tersebut sekarang dikenal dengan pedangang valuta asing (money changer).
              Lahirnya bank-bank syariah di Indonesia tetap berpegang pada bank sentral BI, karena Bank Indonesia adalah bank sentral yang menjaga kestabilan keuangan perbankan. Berbagai peran Bank Indonesia dalam stabilitas keuangan diantaranya yaitu Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka, menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan, dan Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan
              Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003
              Dengan semakin banyaknya jumlah bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli menjadi oligopoly, yang menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan diantara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank konvensional, bank ini pun merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003, pemain dalam industri perbankan syariah terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8 unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki jaringan kantor berjumlah 119 KCS (Kantor Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah).



Makalah yang telah diseminarkan dalam perkuliahan pada Tahun 2009
oleh: Rose Dyana Manaf




[1]Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi ketiga, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 18.

[2]http://infoperbankan.blogspot.com/2008/08/sejarah-perbankan.html, (online), 2009, di akses tanggal 03 Desember 2010.

[3]Ibid

[4]Ibid

[5]Ibid.

[6]Adiwarman, Bank…, hal. 34.

[7]Ibid., hal. 37.

[8]Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2006), hal. 57.

[9]Ibid., hal. 67.

[10]Ibid., hal. 73.

[11]Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26.


[12]Ibid., hal. 31.

[13]Gemala, Aspek-aspek…, hal. 47.

[14]Ibid., hal. 18.
[16]Ibid.

[17]http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/197%20Prospek.pdf, diakses tanggal 03 Desember 2010.


[18]http://ruzaqir.multiply.com/journal/item/55, diakses tanggal 03 Desember 2010.

[19]Ibid

[20]Ibid.

[21]Ibid.


[1]Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 146.