Dalam babat sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, Negeri
Meureudu memegang peranan penting. Bahkan ketika terjadi kekacauan di pusat
kerajaan, Meureudu pernah diusulkan menjadi pusat pemerintahan alternatif.
Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) di kerajaan Aceh Darussalam
Negeri Meureudu semakin di istimewakan. Negeri Meureudu menjadi satu-satunya
daerah di Kerajaan Aceh yang bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban
Meureudu saat itu menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan
Kerajaan Aceh. Dalam
perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Malaka tahun 1613, singgah
di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad Jalaluddin, yang terkenal dengan
sebutan Tgk Ja Madainah. Dalam peraturan politik Kerajaan Aceh Negeri Meureudu
juga memegang peranan penting. Hal
ini sebagaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang
merupakan Undang-undang (UU) Kerajaan Aceh. saat Aceh dikuasai Belanda dan
mesjid Indra Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan
Belanda. Oleh K F Van Hangen, dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu
majalah yang terbit di Negeri Belanda.
Dalam
pasal 12 Qanun Al-Asyi disebutkan, “Apabila Uleebalang dalam negeri tidak
menuruti hukum, maka Sultan memanggil Teungku Chik Muda Pahlawan Negeri
Meureudu menyuruh pukul Uleebalang negeri itu atau diserang dan Uleebalang
diberhentikan atau di usir, segala pohon tanamannya dan harta rumahnya
dirampas.”
Kutipan
Undang-undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu
sebagai daerah kepercayaan Sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titah
Sultan dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan
pertahanan keamanan Kerajaan Aceh Darussalam. Malah karena kemampuan tersebut,
Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang
air Krueng Meureudu dengan air Krueng Aceh. Hasilnya air Krueng Meureudu lebih
bagus. Namun konspirasi elite politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya
ibu kota kerajaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar
alirang krueng Aceh). Untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan
tersebut, sebuah benteng pernah didirikan Sultan Iskandar Muda di Meureudu.
Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng Meureudu.
Peranan
Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam peraturan politik Pemerintahan
Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan
(ekspansi) ke Semenanjung Malaka. Ia mengangkat Malem dagang dari Negeri
Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Japakeh juga putra Meureudu
sebagai penasehat perang, mendampingi panglima Malem Dagang. Para panglima asal
Negeri Meureudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya
kadang terbelalak (kalau sedang marah), maka orang-orang dari Meureudu dikenal
sebagai orang yang “mata hu su meutaga”, yakni mata terbelalak
dan bersuara keras. Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat di Negeri Meureudu yang bersikap
tegas, disiplin, dan konsekuen.
Setelah
Semenanjung Malaka, yaitu Johor berhasil ditaklukkan oleh pasukan pimpinan
Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap
Negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu
mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu putra bungsu dari Meurah ali Taher
yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu. Negeri
Meureudu adalah Negeri yang langsung berada di bawah kesultanan Aceh dengan
status nenggroe bibeueh (negeri bebas). Penduduk Negeri Meureudu dibebaskan
dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya
satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan
pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lumbung beras utama
kerajaan.
Setelah
tentara Pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara Belanda
maka Jepanglah yang kemudian mengambil alih kekuasaan yang ditinggalkan Belanda
dan menjadi penguasa baru di Aceh. Setelah melewati zaman penjajahan, sejak
Tahun 1967, Meureudu berubah menjadi pusat kewedanan sekaligus pusat Kecamatan.
Selama Meureudu berstatus sebagai kewedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana
(Camat). Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat Kecamatan yaitu Ulee Glee,
Ulim, Meureudu, dan Tringgadeng Panteraja yang masing-masing langsung berada di
bawah control Pemerintahan Kabupaten Pidie.
Kini
daerah kewedanan Meureudu telah menjadi Kabupaten baru yaitu KAbupaten Pidie
Jaya yang membawahi delapan Kecamatan yakni Kecamatan Bandar Dua, Kecamatan
Jangka Buya (pecahan Kecamatan Bandar Dua), Kecamatan Ulim, Kecamatan Meureudu,
Kecamatan Meurah Dua (pecahan Kecamatan Meureudu), Kecamatan Tringgadeng,
Kecamatan Pante Raja (pecahan Kecamatan Tringgadeng), dan Kecamatan Bandar Baru, dengan kota Meureudu sebagai Ibu
Kota Kabupaten.
Referensi:
Iskandar Norman (Pidie Jaya Dalam Lintasan Sejarah).
Terima kasih atas artikelnya.
ReplyDeleteo iya selama saya jelajah mencari ilmu dengan blogwalking, menurut saya anda memiliki kelebihan tersendiri dari situs-situs lain dan jujur potensi anda juga sangat bagus, banyak juga ilmu yang saya pelajari disini jika ada waktu saya akan berkunjung lagi.
#Semoga sehat selalu :D
terimakasih apresiasinya sob. semoga setelah ini gak jalan di tempat. sabah udah berkunjung :D
DeleteTerimakasih sudah membaca bukunya
ReplyDelete