Tuesday, April 24, 2012

ASAL MULA KATA “MEUREUDU MATA HUE SU MEU TAGA"


Dalam babat sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, Negeri Meureudu memegang peranan penting. Bahkan ketika terjadi kekacauan di pusat kerajaan, Meureudu pernah diusulkan menjadi pusat pemerintahan alternatif. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) di kerajaan Aceh Darussalam Negeri Meureudu semakin di istimewakan. Negeri Meureudu menjadi satu-satunya daerah di Kerajaan Aceh yang bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan Kerajaan Aceh. Dalam perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Malaka tahun 1613, singgah di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad Jalaluddin, yang terkenal dengan sebutan Tgk Ja Madainah. Dalam peraturan politik Kerajaan Aceh Negeri Meureudu juga memegang peranan penting. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan Undang-undang (UU) Kerajaan Aceh. saat Aceh dikuasai Belanda dan mesjid Indra Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh K F Van Hangen, dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang terbit di Negeri Belanda.
            Dalam pasal 12 Qanun Al-Asyi disebutkan, Apabila Uleebalang dalam negeri tidak menuruti hukum, maka Sultan memanggil Teungku Chik Muda Pahlawan Negeri Meureudu menyuruh pukul Uleebalang negeri itu atau diserang dan Uleebalang diberhentikan atau di usir, segala pohon tanamannya dan harta rumahnya dirampas.”
            Kutipan Undang-undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan Sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titah Sultan dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan Kerajaan Aceh Darussalam. Malah karena kemampuan tersebut, Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air Krueng Aceh. Hasilnya air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elite politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota kerajaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar alirang krueng Aceh). Untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah didirikan Sultan Iskandar Muda di Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng Meureudu.
            Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam peraturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke Semenanjung Malaka. Ia mengangkat Malem dagang dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Japakeh juga putra Meureudu sebagai penasehat perang, mendampingi panglima Malem Dagang. Para panglima asal Negeri Meureudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya kadang terbelalak (kalau sedang marah), maka orang-orang dari Meureudu dikenal sebagai orang yang “mata hu su meutaga”, yakni mata terbelalak dan bersuara keras. Hal ini secara historis menjadi karakter  masyarakat di Negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin, dan konsekuen.
            Setelah Semenanjung Malaka, yaitu Johor berhasil ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap Negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu putra bungsu dari Meurah ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu. Negeri Meureudu adalah Negeri yang langsung berada di bawah kesultanan Aceh dengan status nenggroe bibeueh (negeri bebas). Penduduk Negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lumbung beras utama kerajaan.
            Setelah tentara Pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara Belanda maka Jepanglah yang kemudian mengambil alih kekuasaan yang ditinggalkan Belanda dan menjadi penguasa baru di Aceh. Setelah melewati zaman penjajahan, sejak Tahun 1967, Meureudu berubah menjadi pusat kewedanan sekaligus pusat Kecamatan. Selama Meureudu berstatus sebagai kewedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana (Camat). Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat Kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim, Meureudu, dan Tringgadeng Panteraja yang masing-masing langsung berada di bawah control Pemerintahan Kabupaten Pidie.
            Kini daerah kewedanan Meureudu telah menjadi Kabupaten baru yaitu KAbupaten Pidie Jaya yang membawahi delapan Kecamatan yakni Kecamatan Bandar Dua, Kecamatan Jangka Buya (pecahan Kecamatan Bandar Dua), Kecamatan Ulim, Kecamatan Meureudu, Kecamatan Meurah Dua (pecahan Kecamatan Meureudu), Kecamatan Tringgadeng, Kecamatan Pante Raja (pecahan Kecamatan Tringgadeng), dan Kecamatan  Bandar Baru, dengan kota Meureudu sebagai Ibu Kota Kabupaten.



Referensi:
Iskandar Norman (Pidie Jaya Dalam Lintasan Sejarah).

3 comments:

  1. Terima kasih atas artikelnya.
    o iya selama saya jelajah mencari ilmu dengan blogwalking, menurut saya anda memiliki kelebihan tersendiri dari situs-situs lain dan jujur potensi anda juga sangat bagus, banyak juga ilmu yang saya pelajari disini jika ada waktu saya akan berkunjung lagi.



    #Semoga sehat selalu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih apresiasinya sob. semoga setelah ini gak jalan di tempat. sabah udah berkunjung :D

      Delete

Bagaimana menurut Sahabat?
Silahkan tinggalkan Komentar Tapi Jangan SARA Yach...!!! ^_^