Thursday, July 28, 2011

Kebijakan Fiskal Dan Pengaruhnya Terhadap Sistem Keuangan Dalam Islam


A.      PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL
              Kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, mobilisasi sumber daya, dan penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan.[1] kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah terhadap penerimaan dan pengeluaran negara untuk mencapai tujuan-tujuannya. Penarikan kesimpulan ini bertujuan agar definisi kebijakan fiskal mengandung makna umum, artinya ia merupakan suatu gambaran yang bisa terjadi dalam berbagai sistem ekonomi.
              Kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Kapitalis hanyalah merupakan suatu kebutuhan untuk pemulihan ekonomi (economy recovery) akibat krisis dan untuk menggenjot perekonomian agar dapat mencapai pertumbuhan yang positif sehingga tumpuan utama kebijakan fiskal Negara Kapitalis adalah pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dalam Sistem Ekonomi Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat sebagai wujud sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Juga kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam tidak bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil, karena hakikat permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi.

B.       KEBIJAKAN FISKAL DI MASA RASUL
              Rasulullah menanamkan prinsip saling membantu terhadap kebutuhan saudaranya selama memimpin di mekah. Setelah Rasulullah dimadinah, dalam waktu yang singkat Madinah mengalami pertumbuhan yang cepat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan dan organisasi, membangun intitusi-intitusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatanya secara penuh.[2]
              Sebagai kepala Negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau, seperti (1) membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya; (2) merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah; (3) menciptakan kedamaian dalam Negara; (4) mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya; (5) membuat konstitusi Negara; (6) menyusun sistem pertahanan madinah; (7) meletakan dasar-dasar sistem keuangan Negara.
              Bersamaan dengan persyariatan zakat, pemasukan lainpun mulai terlembagakan, mulai dari ghonimah perang Badar, kemudian perang-perang berikutnya. Pemasukan lainya yang dilembagakan adalah jizyah, dalam satu riwayat disebutkan terkumpul sebanyak dua ribu hullah.
              Rasulullahpun mengkhususkan area untuk kemaslahatan umum, seperti tempat penggembalaan kuda-kuda perang, bahkan mementukan beberapa orang petugas untuk menjaga harta kekayaan negara seperti kekayaan hasil bumi khaibar yang dipercayakan kepada Abdullah bin Rawahah, sedangkan tugas penjagaan baitul maal dan pendistribusiaanya di amanahkan kepada Abi Rafi’ dan bilal, sementara ternak pembayaran zakat diamanahkan kepada salah seorang dari Bani Giffar.

              Ada empat langkah yang dilakukan Nabi SAW:[3]
  1. Peningkatan pendapatan rasional dan tingkat partisipasi kerja . Rasulullah
    melakukan kebijakan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Yang
    menyebabkan terjadinya distribusi pendapatan dari kaum Anshar ke Muhajirin yang berimplikasi pada peningkatan permintaan total di Madinah.
  2. Kebijakan Pajak. Penerapan kebijakan pajak yang dilakukan Rasulullah SAW seperti kharaj, khums, dan zakat, menyebabkan terciptanya kestabilan harga dan mengurangi tingkat inflasi.
  3. Anggaran. Pengaturan APBN yang dilakukan Rasulullah saw secara cermat, efektif dan efisien, menyebabkan jarang terjadinya defisit anggaran meskipun sering terjadi peperangan.
  4. Kebijakan Fiskal Khusus. Rasulullah saw menerapkan beberapa kebijakan fiskal secara khusus untuk pengeluaran negara, yaitu: meminta bantuan kaum muslimin secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan pasukan muslimin; meminjam peralatan dari kaum non-Muslim secara cuma-cuma dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila terjadi kerusakan; meminjan uang dari orang-orang tertentu untuk diberikan kepada para muallaf; serta menerapkan kebijakan insentif untuk menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi kerja dan produksi kaum muslimin.

C.      SUMBER PEMASUKAN DAN PENGELUARAN NEGARA
1.    Pos Pemasukan Dan Pengeluaran Negara Islam (daulah Islamiyah)
              Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, membagi sumber-sumber pendapatan negara dalam 3 kelompok yaitu:[4]
  1. Bagian Fai dan Kharaj; meliputi harta yang tergolong fai bagi seluruh kaum Musliminin dan pajak (dlaribah) terhadap kaum Musliminin sebagai kewajiban mereka ketika negara mengalami krisis keuangan sehingga tidak mampu membiayai belanja negara terutama yang berifat wajib.
              Kelompok ini terdiri atas:
  1. Seksi ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fai, dan khumus.
  2. Seksi kharaj.
  3. Seksi status tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa (uswah), tanah usyriyah, as shawafi, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara, tanah-tanah milik umum dan tanah-tanah yang dipagar dan dikuasai negara.
  4. Seksi jizyah.
  5. Seksi fai, yang meliputi data-data pemasukan dari (harta) as shawafi, usyur, 1/5 harta rikaz dan barang tambang, tanah yang dijual atau disewakan, harta as shawafi dan harta waris yang tidak ada pewarisnya.
  6. Seksi pajak (dlaribah).

2.        Bagian Pemilikan Umum; harta dari kepemilikan umum ini adalah milik seluruh kaum Musliminin, sedangkan negara berfungsi mewakili ummat dalam mengelola harta jenis kepemilikan umum ini, untuk kemudian digunakan bagi kemaslahatan kaum Musliminin dan seluruh warga negara (termasuk non muslim).
              Kelompok ini dibagi berdasarkan jenis harta kepemilikan umum, yaitu:
  1. Seksi minyak dan gas.
  2. Seksi listrik.
  3. Seksi pertambangan.
  4. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air.
  5. Seksi hutan dan padang (rumput) gembalaan.
  6. Seksi tempat khusus (yang dipagar dan dikuasai oleh negara).
  7. Bagian Shadaqah; bagian ini menyimpan harta-harta zakat yang wajib beserta catatannya. Kelompok ini berdasarkan jenis harta zakat, yaitu:
  8. Seksi zakat (harta) uang dan perdagangan.
  9. Seksi zakat pertanian dan buah-buahan.
  10. Seksi zakat (ternak) unta, sapi, dan kambing.
3.        Kemudian untuk pengeluaran (belanja) negara, Abdul Qadim Zallum mengelompokkannya menjadi 8 bagian yang meliputi pembiayaan bagian-bagian Baitul Mal itu sendiri, seksi-seksinya, dan biro-biro.
              Seksi dar al Khilafah, yang terdiri dari:
a.       Kantor Khilafah.
b.      Kantor Penasihat (Mustasyaarin)
c.       Kantor Muawin Tafwidl.
d.      Kantor Muawin Tanfidz.
e.       Seksi Mashalih ad Daulah, yang terdiri dari:
f.       Biro Amir Jihad.
g.      Biro para Wali (gubernur).
h.      Biro para Qadli.
  1. Biro Mashalih ad Daulah, seksi-seksi dan biro-biro lain, serta fasilitas umum.
              Seksi Santunan; seksi ini bertugas memberikan santunan kepada yang berhak menerimanya, seperti orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan membutuhkan, yang berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri, dan lain-lain yang menurut Khalifah mendatangkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin serta layak diberi subsidi.
              Seksi Jihad, meliputi:
  1. Biro pasukan, yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan pelatihan pasukan.
  2. Biro persenjataan (amunisi).
  3. Biro industri militer.
  4. Seksi Penyimpanan Harta Zakat; bagian ini menyalurkan zakat kepada hanya 8 golongan yang berhak menerima zakat, selama masih ada harta zakat yang di dalam Baitul Mal, dan jika tidak terdapat lagi harta zakat di dalam Baitul Mal maka seksi ini tidak dibiayai.
  5. Seksi Penyimpanan Harta Pemilikan Umum.
  6. Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam (ath Thawaari).
  7. Seksi Anggaran Belanja Negara (al Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan Pengawas (al Muraqabah).
2.    Kebijakan Fiskal Dari Sisi Penerimaan Negara
              Dalam perekonomian Kapitalis, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Di luar kedua sumber utama penerimaan negara tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya dari restribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-denda dan perampasan yang dijalankan pemerintah, pencetakan uang kertas, hasil undian negara (seperti SDSB), dan hadiah (hibah).[5]
              Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal. Pertama dilihat dari pos Bagian Fai dan Kharaj. Dalam bagian ini, sebagian seksi-seksi penerimaan Baitul Mal berhubungan langsung dengan dakwah dan jihad. Daulah Khilafah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dan jika berhasil melakukan penaklukan (futuhat) baik di negeri-negeri Islam yang sebelumnya berada dalam kekuasaan bangsa-bangsa kafir, maupun di negeri-negeri bangsa kafir itu sendiri, maka akan banyak pemasukan Baitul Mal dari anfal atau ghanimah (spoils), fai (booties), dan khumus. Jadi semakin Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad semakin banyak harta pemasukan bagi Baitul Mal dari harta rampasan perang (the spoils of war).
              Pemasukan lainnya adalah kharaj (the land tax). Kharaj merupakan hak kaum Muslimin atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian dari ghanimah) dari orang-orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui perjanjian damai. Terhadap tanah kharaj dan tanah kharajiyah (negeri taklukan yang penduduknya telah masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Albania, Bosnia, Negeri-negeri di Asia Tengah maka disana berlaku kharaj (the land tax) sampai kiamat.
              Setiap penduduk (Muslim dan non Muslim) yang memanfaatkan tanah kharaj diwajibkan membayar kharaj kepada negara. Nilai kharaj yang diambil oleh negara atas tanah tersebut dihitung berdasarkan kandungan tanahnya dengan memperhatikan kondisi lingkungan tanah tersebut. Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk Islam seperti Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj tidak berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah usyuriyah yang wajib dikeluarkan zakatnya.

By: Rosdiana Manaf, dkk
makalah Moneter Dalam Islam yang diseminarkan pada tahun 2009



[2]Suparmoko, M, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, cet. VII (Yogyakarta; BPFE-YOGYAKARTA, 1997), hal. 27.
[3]Ibid., hal. 32.
[4]Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Musykilah al-Faqr wakaifa alajaha al-Islam), alih bahasa Syafril Halim, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 45.
[5]Ibid., hal. 10.

No comments:

Post a Comment

Bagaimana menurut Sahabat?
Silahkan tinggalkan Komentar Tapi Jangan SARA Yach...!!! ^_^