Latar Belakang
Rintisan
praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui
diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya
adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien
Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang
relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di
Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo
dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai
konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab
tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi
masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi
pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.[1]
Prakarsa
lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun
1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor,
Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan
amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk
melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai
hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember
1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar
Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih
dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Lahirnya
bank-bank syariah di Indonesia tetap berpegang pada keputusan yang dibuat oleh
bank sentral BI, karena Bank Indonesia adalah bank sentral yang menjaga
kestabilan keuangan perbankan. Berbagai peran Bank Indonesia dalam stabilitas
keuangan diantaranya yaitu Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara
lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka, menciptakan
kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan, mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, Bank
Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas
keuangan, dan Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring
pengaman sistim keuangan.
A.
Pengertian dan Sejarah
Ringkas Bank
Bank
adalah suatu lembaga keuangan yang mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebagai
tempat penyimpanan uang (menghimpun dana dari masyarakat) dan menyalurkan dana
kepada masyarakat atau pengusaha yang membutuhkan serta memberikan pelayanan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.[1]
Secara
umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak
istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank
Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank
Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank).
Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis
penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang
secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.[2]
Kegiatan
dan sejarah perbankan mulai di kenal sejak zaman Babylonia, kemudian terus
berkembang hingga zaman Yunani Kuno dan Romawi. Kemudian kegiatan perbankan
terus berkembang hingga ke daratan Eropa, hingga akhirnya berkembang sampai ke
Asia Barat yang dibawa oleh para pedagang Eropa, dan terus berkembang hingga
kegiatan perbankan ini menyebar ke seluruh dunia, terutama daerah jajahan Eropa.[3]
Pada
mulanya kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, sehingga dalam
sejarah perbankan arti bank di kenal sebagai meja tempat menukarkan uang,
dimana kegiatan penukaran uang tersebut sekarang dikenal dengan pedangang
valuta asing (money changer).
Dalam
perkembangan selanjutnya kegiatan perbankan berkembang lagi menjadi tempat
penitipan uang, yang kini di kenal dengan kegiatan simpanan (tabungan).
Kegiatan perbankan bertambah lagi sebagai tempat peminjaman uang.[4]
Kegiatan
perbankan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, dimana bank
tidak lagi sekedar sebagai tempat menukar uang atau tempat menyimpan dan
meminjam uang. Hingga akhirnya keberadaan bank sangat mempengaruhi perkembangan
ekonomi masyarakat, hingga tingkat negara, dan bahkan sampai tingkat
internasional.
Di
Indonesia sendiri, sejarah perbankan dimulai dengan masuknya penjajah belanda
melalui VOC. Bank-bank yang pernah ada pada waktu ini antara lain:[5]
- De Javasche NV
- De Post Paar Bank
- De Algemevolks Crediet Bank
- NederlandHandles Maatscappij (NHM)
- Nationale Handle Bank
- De Escompto Bank NV
Sedangkan
bank-bank yang didirikan dan dimiliki warga pribumi. Cina, Jepang, dan Eropa
lainnya diantaranya adalah sebagai berikut:
- Bank Nasional Indonesia
- bank Abuan Saudagar
- NV Bank Boemi
- The Charteredbank of India
- The Yokohama Species Bank
- The Matsui Bank
- The Bank of China
- Batavia Bank.
Sejarah
perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia diawali dari aspirasi
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk memiliki sebuah alternatif
sistem perbankan yang Islami. Selain itu, masyarakat meyakini bahwa sistem
perbankan syariah yang menerapkan bagi hasil sangat menguntungkan, baik untuk
nasabah dan bank.
Pada awal
tahun 1980-an, rintisan pendirian perbankan syariah mulai dilakukan. Maraknya
seminar dan diskusi tentang urgensi bank syariah yang dilakukan masyarakat dan
akademisi kian memantapkan langkah itu. Sebagai sebuah uji coba, mereka
kemudian mempraktekkan gagasan tentang bank syariah dalam skala kecil. Sejak
itu, berdirilah Bait Al-Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung dan
Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.[6]
Keberadaan
badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini
semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif
lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan lembaga keuangan
konvensional yang sudah ada.[7]
Mencermati
aspirasi masyarakat untuk memiliki lembaga keuangan syariah, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan melakukan
pendalaman konsep-konsep keuangan syariah, termasuk sistem perbankan syariah.
Pada
tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas
lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25
Agustus 1990.[8]
Hasilnya,
lahirnya amanat untuk pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam pertama
di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk
menindaklanjuti aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan
berbagai persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Hasil
kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI). Akte
pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai
beroperasi pada 1 Mei 1992. Selain BMI, pionir perbankan syariah yang lain
adalah Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera
yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for
Sharia Economic Development (ISED).[9]
Dukungan
Pemerintah dalam mengembangkan sistem perbankan syariah ini selanjutnya
terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem
operasional bank syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992.[10]
Ketentuan
ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di
Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem
perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem
perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan
produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor
perekonomian nasional.[11]
Pada
tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin
mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indoneisa.[12]
Berdasarkan
Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan untuk
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan
UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertamakalinya nama “bank syariah”
secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak
tahun 1992.[13]
Dalam
perjalanan waktu, pengalaman membuktikan bahwa sistem perbankan syariah telah
menjadi salah satu solusi untuk membantu perekonomian nasional dari krisis
ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem perbankan syariah terbukti mampu menjadi
penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati guncangan.
Kemampuan
itu semakin mempertegas posisi sistem perbankan syariah sebagai salah satu
potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan. Pada akhirnya,
sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah
perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh
masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dengan
positioning khas perbankan syariah sebagai “lebih dari sekedar bank” (beyond
banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang
lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi,
diyakini bahwa di masa mendatang minat masyarakat Indonesia akan semakin tinggi
untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya, hal tersebut akan
meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem
keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam
kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur
Perbankan Indonesia (API).[14]
B.
Peran Bank Dalam
Stabilitas Keuangan
Sebagai
otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia
tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan
(perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga
stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan
banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan.[15]
Kebijakan
moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu
pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas
kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi
kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka
transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya,
ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi
latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas
dan tanggung jawab Bank Indonesia.[16]
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran
utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang
mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu
adalah:[17]
1. Bank Indonesia
memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen
suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu
menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat
gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi.
Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan
cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh
karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah
menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting
2. Bank Indonesia
memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat,
khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan
melalui mekanisme pengawasan dan
regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan.
Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan
keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan
tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah
ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan
pembuat
kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa
negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem
keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement)
dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus
mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di
sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan rencana implementasi
Basel II.
3. Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal
bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial
yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan
tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat
sistemik.
Bank
Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam
sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan
sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS
(Real Time Gross Settlement) yang
dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran.
Sebagai
otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan
keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
4. Melalui
fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses
informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui
pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan
sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak
pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat
mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi
kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya
akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
5. Bank Indonesia
memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim
keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai
lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank
Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari
terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup
penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya
diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu
terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR
dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun
masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya
sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena
itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan
dalam penyediaan likuiditas tersebut
Berdasarkan
prospek kondisi makroekonomi Indonesia tahun 2008, maka dapat diprediksikan
pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth
(pertumbuhan tinggi), yakni di kisaran 38 %, dibandingkan pertumbuhan
perbankan secara nasional.[18]
Industri
perbankan syariah Indonesia sebagai bagian dari sistim perbankan nasional,
diharapkan terus tumbuh untuk mendorong aktifitas perekonomian produktif
masyarakat. Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga),
jumlah pembiayaan, pertambahan jumlah rekening nasabah, serta jumlah
sector perekonomian yang dibiayai.
Selain
dukungan kondisif makro ekonomi yang masih kondusif, faktor mikro dalam
industri perbankan dan keuangan syariah juga akan mempengaruhi percepatan
perkembangan industri perbankan syariah meliputi ; pertama, rencana
pembukaan bank-bank syariah baru, kedua, optimalisasi kapasitas usaha
dari bank syariah; dan ketiga, dukungan lingkungan keuangan syariah
nasional.
Pada tahun
2008 nanti beberapa rencana pembukaan bank syariah baru berupa BUS (Bank Umum
Syariah) atau UUS (Unit Usaha Syariah) akan segera terealisasi, baik
melalui proses spin-off maupun proses akuisisi. Selain itu, diharapkan
UUS yang ada mampu memaksimalkan ekspansi/peningkatan kapasitas funding
(pendanaan) dan financing (pembiayaan) mereka. Banyak UUS yang memasang
target pembiyaan sampai 100 %, misalnya Bank BNI Syariah, demikian pula Bank
Umum Syariah Bank Muamalat Indonesia, juga memasang target yang sama.[19]
Perkembangan bank syariah mulai
terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998
yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai
tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian lebih
serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk satuan kerja
khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani penelitian dan
pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi
Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi
menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003.[20]
Dengan semakin banyaknya jumlah
bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli menjadi
oligopoly, yang menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan diantara bank
syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank konvensional, bank ini pun
merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003, pemain dalam industri
perbankan syariah terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8 unit usaha
syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki jaringan
kantor berjumlah 119 KCS (Kantor Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan
Rakyat Syariah). Peningkatan jumlah pemain dalam industri perbankan syariah
terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan akhir tahun 1998 yang hanya berjumlah
1 BUS dengan 8 KCS dan 78 BPRS.[21]
Kesimpulan
Kegiatan
dan sejarah perbankan mulai di kenal sejak zaman Babylonia, kemudian terus
berkembang hingga zaman Yunani Kuno dan Romawi. Kemudian kegiatan perbankan
terus berkembang hingga ke daratan Eropa, hingga akhirnya berkembang sampai ke
Asia Barat yang dibawa oleh para pedagang Eropa, dan terus berkembang hingga
kegiatan perbankan ini menyebar ke seluruh dunia, terutama daerah jajahan
Eropa.
Pada
mulanya kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, sehingga dalam
sejarah perbankan arti bank di kenal sebagai meja tempat menukarkan uang,
dimana kegiatan penukaran uang tersebut sekarang dikenal dengan pedangang
valuta asing (money changer).
Lahirnya
bank-bank syariah di Indonesia tetap berpegang pada bank sentral BI, karena
Bank Indonesia adalah bank sentral yang menjaga kestabilan keuangan perbankan.
Berbagai peran Bank Indonesia dalam stabilitas keuangan diantaranya yaitu Bank Indonesia memiliki tugas untuk
menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam
operasi pasar terbuka, menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat,
khususnya perbankan, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat mengakses
informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan, dan Bank
Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring
pengaman sistim keuangan
Perkembangan
bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992
menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi
bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank Indonesia (BI) mulai memberikan
perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk
satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani penelitian
dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah
dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal
bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi
menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003
Dengan
semakin banyaknya jumlah bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah dari
monopoli menjadi oligopoly, yang menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan
diantara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank konvensional,
bank ini pun merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003, pemain dalam
industri perbankan syariah terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8 unit
usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki jaringan
kantor berjumlah 119 KCS (Kantor Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan
Rakyat Syariah).
Makalah yang telah diseminarkan dalam perkuliahan pada Tahun 2009
oleh: Rose Dyana Manaf
[1]Adiwarman
A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan
Keuangan, Edisi ketiga, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 18.
[2]http://infoperbankan.blogspot.com/2008/08/sejarah-perbankan.html,
(online), 2009, di akses tanggal 03 Desember 2010.
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Ibid.
[6]Adiwarman,
Bank…, hal. 34.
[7]Ibid.,
hal. 37.
[8]Gemala
Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan
Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2006), hal. 57.
[9]Ibid.,
hal. 67.
[10]Ibid.,
hal. 73.
[11]Warkum
Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan
Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 26.
[12]Ibid.,
hal. 31.
[13]Gemala,
Aspek-aspek…, hal. 47.
[14]Ibid.,
hal. 18.
[15]http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+BI/,
diakses tanggal 03 Desember 2010.
[16]Ibid.
[19]Ibid
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[1]Mustafa
Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 146.