Saturday, June 25, 2011

Membayar Hutang Dengan Mata Uang Lain

google pic

            Apakah anda sedang terjerat hutang? Biasanya orang berhutang dalam bentuk uang. Ada juga orang yang berhutang dalam bentuk barang yang nantinya pembayarannya juga dalam bentuk barang. Jika seseorang berhutang dalam bentuk uang dan pembayarannya dilakukan dengan mata uang lain atau mata uang yang tidak sejenis saat berhutang, bagaimana hukumnya??
            Dalam sejarah Islam, uang merupakan suatu yang diadopsi dari peradaban Romawi dan Persia. Ini mungkin karena penggunaan dan konsep uang yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dinar adalah mata uang emas yang diambil dari Romawi, dan Dirham adalah mata uang perak warisan peradaban Persia. Dinar dan Dirham diperoleh bangsa Arab dari hasil perdagangan yang mereka lakukan dengan bangsa-bangsa diseputar Jazirah Arab.[1] Para pedagang kalau pulang dari Syam, mereka membawa Dinar emas Romawi (Byzantium) dan dari Irak, mereka membawa Dirham perak Persia (Sassarid).

A.      Pengertian Hutang Piutang
            Hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian akan membayar yang sama dengan yang dihutangkan. Misalnya mengutang uang Rp. 1.000,- , maka akan dibayar Rp. 1.000,-  juga.
Seperti Firman Allah:

Artinya: ”
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[a], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[b], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[c], dan binatang-binatang qalaa-id[d], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya[e] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah:2)

Penjelasan:                                                             
[a]       Syi'ar Allah ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[b]       maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., maksudnya ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
[c]       ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[d]      ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu Telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[e]      dimaksud dengan karunia ialah: keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keridhaan dari Allah ialah: pahala amalan haji.

Mepiutangkan sesuatu kepada orang lain berarti kita telah membantu orang lain. Seperti hadis Nabi yaitu “ Dari Ibnu Mas’ud, Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda, seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali”.[2]

B.      Hukum Memberi Hutang
google pic
            Memberi hutang hukumnya sunat, sama halnya seperti tolong menolong dalam hal lain. Seperti sabda Nabi “ Allah akan menolong hambaNya selama hamba itu suka menolong saudaranya”.[3]
                 Memberikan hutang kadang-kadang dapat menjadi wajib seperti menghutangi orang yang terlantar. Hal ini merupakan suatu perbuatan yang sangat besar manfaatnya karena antara satu ama lainnya saling membutuhkan pertolongan.[4]
C.      Perbedaan Antara Hutang Uang dengan Hutang Barang
            Ada dua jenis hutang yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, yaitu utang yang terjadi karena ppinjam meminjam uang dan utang yang terjadi karena pengadaan barang. hutang yang terjadi karena pinjam meminjam uang tidak boleh ada tambahan, karena hal tersebut dapat menimbulkan riba, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materi, biaya notaris dan lainnya. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas seperti inflasi, deflasi dan sebagainya tidak diperbolehkan.
Utang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau yang biasa disebut dengan harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri atas harga pokok ditambah dengan keuntungan (margin) yang disepakati. Apabila harga jual telah disepakati, maka sampai kapanpun harga tersebut tidak boleh dirubah lagi. Dalam transaksi perbankan syariah ada yang namanya akad murabahah. [5]
Murabahah merupakan salah satu akad dalam perbankan syariah yang menggunakan prinsip jual beli antara bank dengan nasabah. Karena bank tidak menyediakan barang, maka bank membeli barang untuk nasabah ke supplyer dengan harga tertentu, dan bank mengambil keuntungan (margin) yang ditambah dengan harga dasar barang tersebut dari nasabah sesuai dengan kesepakatan kedu belah pihak.


D.      Rukun Utang Piutang
  1. Yang berpiutang dan yang berutang
  2. Barang atau uang yang diutangkan
  3. Ijab Qabul.

E.      Hukum Membayar Hutang dengan Mata Uang Lain
            Jika uang Dinar dan Dirham dipertukarkan, maka tidak boleh ada kelebihan diantara keduanya. Sabda Rasulullah:
“ Dinar dengan dinar, tidak ada kelebihan antara keduanya (jika dipertukarkan), dan dirham dengan dirham dan tidak ada kelebihan diantara keduanya (jika diprtukarkan)”.[6]
            Dari hadis di atas jelas bahwa tidak boleh menukar dinar engan dinar jika dilebihkan, dan tidak boleh menukar dinar dengan dirham jika penyerahannya tertunda. Konsekuensi dari lembaga pengkajian Fiqh yang terikut dalam Organisasi Rabithah Al-Alam Al-Islami dalam pertemuan kelima mereka yang diadakan pada Tahun 1402 H menyebutkan bahwa tidak bolehj menjual atau menukar uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis yang berbeda, baik yang berupa emas, perak atau yang lainnya dengan penyerahan tertunda, secara mutlak tidak boleh. Misalnya menukar Riyal Saudi dengan Dollar amerika dengan nilai yang tidak sama tanpa penyerah terimaan langsung.[7]
            Tidak boleh menjual atau menukar uang dengan jenis yang sama dengan nilai yang berbeda, baik baik secara kontan atau dengan penyerahan tertunda. Tidak boleh misalnya menjual sepuluh riyal Saudi berbentuk kertas dengan sebelas riyal, dengan penyerahan tertunda atau kontan.[8] Dibolehkan menjual uang dengan jenis lain secara mutlak, bila secara kontan.

            Jika dalam masalah pertukaran antara satu mata uang dengan mata uang lainnya boleh, maka bagaimana dengan hukum membayar utang dengan mata uang lain? Bolehkah?
            Mengenai hukum membayar hutang dengan mata uang lain, ulama berbeda pendapat, diantaranya adalah:
  1. Menurut Ulama Hanabilah dan Hambali, mereka membolehkan membayar hutang dengan mata uang lain asalkan nilai mata uang tersebut harus sama seperti kurs (nilai tukar)  pada saat transaksi dan bila dilakukan secara langsung dan secara tunai. Misalnya membayar hutang dolar dengan rupiah, pada saat transaksi kurs dolar harus dihitung berapa rupiah perdolarnya.
  2. Menurut Ibnu Abbas, beliau melarang membayar hutang dengan mata uang lain, seperti uang dolar dibayar dengan mata uang rupiah, karena menurut beliau satu dolar itu tidak boleh dibentukkan dengan mata uang lain.
            Itulah pendapat para ulama tentang pembayaran utang dengan menggunakan mata uang lain. Menurut penulis pembayaran utang dengan menggunakan mata uang lain sah-sah saja, asalkan yang memberi utang mau dan rela. Karena hukum asal dalam transaksi adalah aling ridha.


Catatan Kaki:

  • [1]Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, ( Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006). 
  • [2]Hadits Riwayat Ibnu Majah. 
  • [3]Hadits Riwayat Muslim. 
  • [4]Drs. M. Moh Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2003), hal. 414. 
  • [5]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2001), hal. 60. 
  • [6]Hadits Riwayat Muslim. 
  • [7]Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, Bunga Bank Haram, (Jakarta: Darul Haq, 2004), hal. 22. 
  • [8]Ibid

By: Rosdiana Manaf
24 Juni 2011 (Jum’at)
10:57 WIB


No comments:

Post a Comment

Bagaimana menurut Sahabat?
Silahkan tinggalkan Komentar Tapi Jangan SARA Yach...!!! ^_^